Kamis, 22 September 2011

penggusuran

Penggusuran, Potret Klasik Ketimpangan Pembangunan
RABU, 15 SEPTEMBER 2010 00:00
E-mailCetakPDF
http://www.simpuldemokrasi.com/images/simpuldemokrasi/infomalangraya/penggusuran.jpgBerita Nasional - Peraturan Presiden Nomor 36/2005 tentang pengadaan tanah bagi pelaksanaan pembangunan untuk kepentingan umum, sampai detik ini masih menuai protes yang cukup keras dari berbagai kalangan. Bagaimana tidak, perpres yang ditandatangani Presiden Yudhoyono 3 Mei lalu tersebut mau tidak mau malah akan memproduksi segudang persoalan baru di tengah-tengah masyarakat. Salah satu dampak riilnya adalah penggusuran.
Akibat terbitnya perpres tersebut, diperkirakan program-program penggusuran atas nama pembangunan di negeri ini semakin menambah panjang daftar antrean “wajib gusur”. Jauh-jauh hari sebelumnya, di Surabaya, warga di 16 Kelurahan Stren Kali Surabaya dan Kali Wonokromo (5000 KK/± 25000 jiwa) juga sudah terancam penggusuran dengan alasan normalisasi kali. Penggusuran diprediksi ikut pula menimpa warga yang terkena proyek jalan tol tengah kota (15000 KK/± 75000 jiwa). Selain itu, warga tiga desa di sekitar proyek jembatan Suramadu (30000 jiwa) menjadi daftar berikutnya. Terakhir, kurang lebih seratus ribu warga di sekitar proyek Jalan Lingkar Timur Surabaya, Waduk di Madura, serta jalan tol Gempol-Pandaan juga tidak luput dari sasaran penggusuran.
Itulah sebagian kecil calon-calon korban pembangunan penguasa kita. Di banyak daerah, pembangunan yang berujung pada praktek main gusur juga membayangi wong cilik yang umumnya hidup di lokasi pinggiran. Target pembangunan demi mencapai kesejahteraan umum nampaknya masih tidak berpihak pada sebagian masyarakat. Sesungguhnya hal tersebut sudah berlangsung cukup lama. Hanya saja, instabilitas kondisi perekonomian nasional, kenaikan BBM yang diikuti melambungnya harga-harga kebutuhan rumah tangga, serta “nasib apes” yang dialami warga bangsa akhir-akhir ini kiranya membuat rencana penggusuran itu semakin menyayat hati.
Perpres 36/2005 sebagai titik pangkal penggusuran ini memang bermasalah. Contoh kecil, dalam pasal 1 ayat 3 disebutkan definisi kepentingan umum adalah kepentingan sebagian besar masyarakat. Padahal di peraturan sebelumnya (Keppres 55/1993), definisi kepentingan umum adalah kepentingan seluruh lapisan masyarakat. Di pasal lain, yakni pasal 19, disebutkan hanya tanah- tanah bersertifikat yang akan mendapat ganti rugi. Padahal tidak seluruh rakyat mempunyai sertifikat tanah, sedangkan mereka sudah mendiami tanah tersebut bertahun-tahun. Jumlah komunitas mereka pun sangat besar. Itu artinya, pasal inilah yang potensial menyebabkan penggusuran semena-mena. Begitu pun pasal-pasal lain yang rata-rata tidak atau kurang merepresentasikan kepentingan kaum miskin.
Penggusuran terhadap pemukiman informal (=pemukiman yang dibangun sendiri oleh rakyat) mesti disadari telah menjadi salah satu penyebab utama kemiskinan di perkotaan. Ketika laju urbanisasi kian cepat dan investasi mengalir ke kota-kota, pemukiman informal tidak lagi dapat diterima karena dunia formal semakin menguasai ruang yang mereka duduki untuk pembangunan.
Menurut  penelitian yang dilakukan Urban Poor Consortium (2004), akar permasalahan atas kemunculan praktek-praktek penggusuran adalah: a) adanya mega proyek (pembangunan) infrastuktur yang dibiayai oleh lembaga-lembaga donor pembangunan internasional atau kerjasama antara pengusaha lokal dan perusahaan internasional, b) kongkalikong antara kontraktor/pengembang, birokrat, dan politisi dalam rangka menyingkirkan orang-orang miskin dari lokasi yang bernilai tinggi, c) tidak adanya hukum yang melindungi masyarakat dan menjamin hak bertempat tinggal, atau kurangnya aturan tentang prosedur penerapan hukum itu.
Akan tetapi, meski hukum yang baik itu ada, pelanggaran terhadap hukum nampaknya tetap ditolerir karena senjangnya hubungan kekuasaan yang dibangun oleh komunitas miskin dengan lobi-lobi politik yang dibangun oleh tiga sekawan: pengembang-birokrat-politikus.
Di mata pemerintah, praktek penggusuran bukannya tanpa jalan keluar. Resettlement (pemukiman kembali) adalah salah satu alternatif yang ditawarkan pemerintah terhadap para korban penggusuran. Perpres 36 sendiri menyebutkan ganti rugi yang didasarkan atas Nilai Jual Objek Pajak (NJOP). Namun, besaran ganti rugi NJOP tetap dinilai sebagian masyarakat tidak adil karena pemerintah tidak memperhitungkan kerugian immateril yang diderita rakyat yang terkena dampak pembangunan. Resettlement juga dipandang tidak bisa mengembalikan modal sosial yang selama ini melekat di tengah-tengah masyarakat, di samping resettlement juga kurang representatif dibandingkan tempat tinggal asal.
Dalam kondisi yang serba terjepit, akankah bangsa ini hanya bisa pasrah melihat penggusuran keluarga miskin, meningkatnya jumlah gelandangan, pengangguran, dan kaum miskin? Bagaimana pun juga, hal tersebut mengindikasikan betapa pembangunan era sekarang masih kesulitan mencari jalan keluar atas munculnya banyak ketimpangan terjadi.
Pemerintah melalui perpres dan segudang kebijakan serta aturan yang ditelurkannya harus melihat bahwa ternyata kepentingan umum tidak lagi menjadi prioritas utama. Beberapa kebijakan yang dikeluarkan pemerintah terkadang kurang mendapat respon masyarakat akibat penetapan yang tertutup tanpa melibatkan partisipasi masyarakat.
Karena itu, kepentingan publik tersebut hanya dapat dipahami bila semua warga secara individual (tanpa syarat, dan demi mewujudkan haknya) memperoleh kesempatan yang sama untuk secara bebas mengutarakan aspirasinya dalam kehidupan berdemokrasi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar